BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Kata
takwa yang sudah umum didengar dan sangat familiar baik di dunia keagamaan
maupun pendidikan. Takwa adalah melaksanakan yang diperintahkan dan menjauhi
yang dilarangNya. Takwa juga merupakan suatu hal yang sangat diharapkan oleh
setiap manusia bahwa segala sesuatu urusan yang dilalui selalu lancar tanpa
hambatan. Tetapi sudah merupakan suatu sunatullah bahwa mustahil untuk mendapat
sesuatu tanpa perjuangan. Perjuangan, hambatan, gangguan dan apapun bentuknya
merupakan bagian dari ujian untuk mendapatkan sesuatu. Seorang ingin lulus
sekolah harus melalui ujian, seorang ingin masuk sebuah pekerjaan di sebuah
perusahaan harus melalui tahapan tes yang melelahkan.
Allah
menegaskan, bahwa barang siapa yang selalu berupaya merealisir takwanya dalam
segala aktivitas riil-konkrit kesehariannya, maka Allah tidak hanya akan
memberinya kebaikan di dunia–kebaikan sosial, kebaikan profesi, dan kebaikan
solusi bagi problema dirinya, tetapi juga pahala yang sangat besar. Aktualisasi
takwa di sisi lain akan mendorong umat manusia, untuk tidak pernah berhenti
melakukan perubahan dan kompetisi.
B. Rumusan
Permasalahn
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu:
1.
Apakah
pengertian dari Taqwa?
2.
Apa
maksud dari Taqwa?
3.
Seperti
apakah Taqwa kepada Allah SWT?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisn adalah:
1.
Mengetahui
arti Taqwa
2.
Agar
Manusia mau menjalankan perintah Allah dan menjahui larangan Allah SWT
3.
Menjadikan
haba Allah yang sholeh sholikh
TAQWA
Ada
manusia yang dalam hidupnya, dia tidak mau berusaha. Segala modal dan aset yang
ada pada dirinya dibiarkan dan tidak digunakan. Baik ilmu dan pemikirannya,
kemahirannya, tenaganya, masanya atau pun kekayaan, tanah dan hartanya. Manusia
seperti ini sangat rugi.
Ada
pula manusia yang dalam hidupnya sangat berusaha. Digunakan segala kepunyaannya
dan segala apa yang ada pada dirinya. Tetapi usahanya itu tidak membawa
berkah dan ketenangan kerana usahanya itu tidak dihalakan kepada suatu arah
yang tertentu atau kepada hal yang betul. Orang berusaha maka dia pun berusaha.
Dia melihat sibuk, dia pun sibuk. Apa tujuannya dia tidak tahu. Oleh karena
itu, usahanya tinggal usaha tanpa ada apa-apa hasil yang bermanfaat.
Orang
seperti ini, dua kali rugi. Sudah tidak dapat apa-apa seperti orang yang tidak
berusaha tadi, ditambah dia dapat letih dan capek serta modalnya habis begitu
saja. Orang yang langsung tidak berusaha, setidak-tidaknya dia tidak letihdan
modalnya tidak habis.
Begitulah
umumnya sifat, watak dan perangai umat Islam
masa kini diseluruh dunia. Mereka malas berusaha atau mereka berusaha
tetapi tidak ada niatnya dan hasilnya tidak ke mana. Sudah amal ibadah mereka
kurang, disempitkan pula hanya kepada ibadah yang berbentuk khusus semata-mata.
Umat Islam hari ini beramal tidak tahu untuk dapat apa. Untuk dapat pujian?
Untuk dihormati? Untuk disokong dan diberi undian? Supaya tidak dikucilkan
oleh masyarakat atau supaya tidak dihukum kerana tidak bersyariat? Kalau
ditanya, paling mereka menjawab kerana mau mengumpulkan pahala. Seolah-olah
Surga itu ada maharnya dan bisa dibeli. Ada harga dan nilainya. Semua
kenikmatan didunia, semuanya bisa dibeli. Kalau tidak dengan duit, dengan
pahala.
Amal
ibadah itu sama, ada yang lahir maupun yang batin adalah syariat.Tujuan kita
bersyariat tidak lain dan tidak bukan adalah untuk membesarkanAllah. Syariat
itu tidak besar. Yang besar ialah Allah. Kita beramal dan bersyariat untuk
mendapat Allah SWT. Untuk mendapat ridho, kasih sayang dan kekuasaan Allah.
Untuk mendapat pemeliharaan, perlindungan dan keselamatan dari Allah.Atau
dengan kata lain, untuk mendapat taqwa. Segala amalan itu untuk menambah taqwa.
Kerana Allah hanya menerima ibadah dari orang-orang yang bertaqwa. Allah hanya
membela, membantu dan melindungi orang-orang yang bertaqwa. Hanya orang-orang
yang bertaqwa saja yang akan selamat di sisi Allah Taala.
Selama
ini ada di antara kita yang memahami taqwa itu sebagai takut. Sedangkan taqwa
itu bukan berarti takut kepada Allah. Jadi bilamana khatib membaca khutbah
Jum’at, sering kali juga khatib itu melaungkan Ittaqullah, kemudian diterjemahkan sebagai Takutlah kamu kepada
Allah. Kalaulah istilah takut itu mau digunakan, maka hendaknya disebut khaufullah. Sebab itu makna sebenarnya
takutlah kepada Allah. Takut kepada Allah itu hanyalah satu sifat dari pada
berbagai-berbagai sifat taqwa. Ia adalah sebiji buah taqwa dari pada himpunan
buah-buah taqwa yang beratus banyaknya. Oleh itu tidaklah tepat ditafsirkan
taqwa itu sebagai takut.
Apa
pengertian sebenar taqwa? Merujuk kepada bahasa Arab, taqwa itu berasal dari
perkataan waqa. Atau lebih tepat lagi ia adalah dari rangkaian kalimah waqa-yaqi-wiqoyah. Waqa ini terjemahannya adalah memelihara. Jadi bila dikatakan ittaqullah itu berarti hendaklah kamu
ambil Allah itu sebaga pemelihara. Atau dapatkanlah pemeliharaan dari Allah.
Dalam makna yang sama, hendaklah kamu jadikan Allah sebagai benteng. Jadikan
Allah sebagai pelindung atau pendinding kamu. Bila Allah sudah jadi pemelihara,
atau Allah sudah jadi benteng, maka benda luar yang jahat tidak akan dapat
masuk atau menembusikamu. Kamu seolah-olah sudah dipakaikan baju besi oleh
Allah sehingga tidak luput kejahatan menembusi kamu.
Timbul
pula persoalan bagaimana menjadikan Allah itu sebagai pemelihara atau
pendinding? Itulah dia merujuk kepada Iman, Islam dan Ihsan. Iman itu apa?
Lebih khusus kita pergi beriman kepada Allah. Dalam arti kata lain, kita kena
benar-benar mengenali Tuhan sehingga kita dapat meyakini dan memahami Tuhan itu
sendiri. Jadi, bila kita hendak menjadikan Allah sebagai pemelihara, wajiblah
kita mengenali Allah itu dahulu. Rasulullah pun mengenalkan Tuhan dahulu kepada pengikutnya dan ia memakan masa
selama 13 tahun. Kemudian dari pada itu, seolah-olah Tuhan kata tak
cukup dengan itu sahaja. Kamu perlu mengamalkan syariatKu. Itulah dia Islam.
Syariat Islam berbagai-bagai. Jadi Tuhan perintahkan amalkan syariatNya yang
ada didalamnya perintah suruh dan perintah larang. Jadi, hendak menjadikan
Allah sebagai pemelihara, kena ambilsyariat Allah dan amalkan. Buat apa yang
disuruh, dan tinggalkan apa yang dilarangNya.
Belum
cukup dengan itu, Tuhan arahkan Ihsan pula. Sesudah membuat syariatNya, tidak
cukup dengan itu, Tuhan mahukan rohnya pula. Tuhan maha lihat yang dalamnya.
Itulah pentingnya ihsan yaitu kita membuat syariat dengan rasa kita melihat
Tuhan, dan sudah pasti itu tidak dapat kita lakukan, maka kita mestilah merasai
bahawa Tuhan sentiasa melihat kita. Bukan setakat melihat luaran kita tetapi
dalam kita juga. Ihsan inilah yang dikatakan sebagai rasa bertuhan. Bila sudah
dapat ihsan barulah lengkap paket menjadikan Allah sebagai pemelihara. Tuhan
tidak sekadar memberi arahan supaya bertaqwa kepadaNya, tetapi Tuhan bagi satu
paket berupa panduan dan amalan caramana hamba-hambaNya dapat bertaqwa kepadaNya.
Itulah dia Iman, Islam dan Ihsan.
Bilamana
hamba-hambaNya dapat melakukan sedemikian, sampai satu tahap, Allah akan
membuat perisytiharan, seolah-olah Tuhan berkata begini: “Orang-orang ini sudah menjadi orang-orang Aku, maka layaklah mereka
mendapat pembelaan dari Aku.” Maka, orang-orang yang mengusahakan taqwa
sehingga bertaqwa, di waktu itu, mereka akan mendapat pemeliharaan dan
pertolongan Tuhan. Ini telah dijanjikan Tuhan dalam Al-Quran. Banyak ayat-ayat menerangkannya dan di antaranya adalah:
a) “Dan Allah akan menjadi
pembela kepada orang-orang bertaqwa” (Al-Jasiyah:19)
b) “Barang siapa yang
bertaqwa kepada Allah, akan dipermudahkan urusannya”
(At-Thalaq:3)
c) “Barangsiapa yang
bertaqwa kepada Allah, akan dipermudahkan urusannya”
(At-Thalaq:3)
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian, Kedudukan dan Ruang
Lingkup Taqwa
1.
Pengertian dan kedudukan taqwa
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi dan wiqayah yang
berarti takut,menjaga, memelihara dan melindungi. Maka taqwa dapat diartikan
sebagai sikap memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengalamanajaran agama
islam. Taqwa secara bahasa berarti penjagaan/ perlindunganyang membentengi
manusia dari hal-hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada
Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan perintah-Nya dan tidak melanggar
larangan-Nya kerena takut terjerumus ke
dalam perbuatan dosa.
Taqwa adalah sikap mental seseorang yang
selalu ingat dan waspada terhadap sesuatu dalam rangka memelihara dirinya dari
noda dan dosa, selalu berusaha melakukan perbuatan-perbuatan yang baik dan
benar, pantang berbuat salah dan melakukan kejahatan pada orang lain, diri
sendiri dan lingkungannya. Dari berbagai makna yang terkandung dalam taqwa,
kedudukannya sangat penting dalam agama islam dan kehidupan manusia karena
taqwa adalah pokok dan ukuran dari segala pekerjaan seorang muslim.
2.
Ruang lingkup
Taqwa
a)
Hubungan
manusia dengan Allah SWT
b)
Hubungan
manusia dengan hati nuranui dan dirinya sendiri
c)
Hubungan
manusia dengan sesama manusia
d)
Hubungan
manusia dengan lingkungan hidup
B.
Hubungan dengan Allah SWT
Seorang yang bertaqwa (muttaqin)
adalah seorang yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT dan selalu menjaga
hubungan dengannya setiap saat sehingga kita
dapat menghindari dari kejahatan dan kemungkaran serta membuatnya konsisten
terhadap aturan-aturan Allah. Memelihara hubungan dengan Allah dimulai dengan
melaksanakan ibadah secara sunguh-sungguh dan ikhlas seperti mendirikan shalat
dengan khusyuk sehingga dapat memberikan warna dalam kehidupan kita, melaksanakan
puasa dengan ikhlasdapat melahirkan
kesabaran dan pengendalian diri, menunaikan zakat dapat mendatangkan sikap
peduli dan menjauhkan kita dari ketamakan. Dan hatiyang dapat mendatangkan
sikap persamaan, menjauhkan dari takabur dan mendekatkan diri pada Allah.
Segala perintah-perintah Allah tersebut ditetapkannya bukan untuk kepentingan
Allah sendiri melainkan merupakan untuk keselamatan manusia.
Ketaqwaan
kepada Allah dapat dilakukan dengan cara beriman kepadaAllah menurut cara-cara
yang diajarkan-Nya melalui wahyu yang sengaja diturunkan-Nya untuk menjadi
petujujk dan pedoman hidup manusia, seperti yang terdapat dalam surat Ali-Imran
ayat 138:
“Inilah
(Al-quran) suatu ketenangan bagi manusia dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yang bertaqwa “.
(QS. Ali-Imran 3:138)
Manusia
juga harus beribadah kepada Allah dengan menjalankan shalat lima waktu,
menunaikan zakat, berpuasa selama sebulan penuh dalam setahun, melakukan ibadah
haji sekali dalam seumur hidup, semua itu kita lakukan menurut
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya. Sebagai hamba Allah sudah
sepatutnya kita bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, bersabar
dalam menerima segala cobaan yang diberikan oleh Allah serta memohon ampun atas
segala dosa yang telah dilakukan.
C.
Hubungan manusia dengan / dirinya
sendiri
Selain kita harus bertaqwa kepada Allah
dan berhubungan baik dengan sesama serta lingkungannya, manusia juga harus bisa
menjaga hati nurani kita dengan baik seperti
yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW dengan sifatnya yang sabar,
pemaaf, adil, ikhlas, berani, memegang amanah, mawas diri dll. Selain itu
manusia juga harus bisa mengendalikan hawanafsunya karena tak banyak diantara
umat manusia yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsunya sehingga semasa
hidupnya hanya menjadi budak nafsu belaka seperti yang tertulis dalam Al-quran
Surat Yusuf ayat 53:
“
Dan aku tidak membebaskan diriku (berbuat kesalahan), sesungguhnya nafsu itu
menyuruh kepada kejahatan, kecuali siapa yang diberi rahmat oleh tuhanku.
Sesungguhnya tuhanku maha pengampum lagi maha penyayang”.(QS.
Yusuf 12:53)
Maka
dari itu umat manusia harus bertaqwa kepada Allah dan dirisendiri agar mampu
mengendalikan hawa nafsu tersebut. Ketaqawaan terhadap diri sendiri dapat
ditandai dengan ciri-ciri, antara lain :
1)
Sabar
2)
Tawaqal
3)
Syukur
4)
Berani
Sebagai
umat manusia kita harus bersikap sabar dalam menerima apa saja yang datang
kepada dirinya, baik perintah, larangan maupun musibah. Sabar dalam menjalani
segala perintah Allah karena dalam pelaksanaan perintah tersebut terdapat upaya
untuk mengendalikan diri agar perintah itu bisa dilaksanakan dengan baik.
Selain bersabar, manusia juga harus selalu berusaha dalam menjalankan segala
sesuatu dan menyerahkan hasilnya kepada Allah (tawakal), karena umat manusia
hanya bisa berencana tetapi Allah yang menentukan, serta selalu bersyukur atas
apa yang telah diberikan Allah dan berani dalam menghadapi resiko dari semua
perbuatan yang telah ditentukan.
D.
Hubungan
manusia dengan manusia
Agama
Islam mempunyai konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan, kemasyarakatan,
kebangasaan dan lain-lain. Semua konsep tersebut memberikan gambaran tentang
ajaran-ajaran yang berhubungan dengan manusia dengan manusia (hablum minannas)
atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan, manusia diciptakan oleh Allah
terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka hidup berkelompok-kelompok,
berbangsa-bangsa dan bernegara. Mereka saling membutuhkan satu sama lain
sehingga manusia disebut sebagai makhluk sosial. Maka tak ada tempatnya
diantara mereka saling membanggakan dan menyombongkan diri, sebab kelebihan
suatu kaum tidak terletak pada kekuatannya, harkat dan martabatnya,
ataupun dari jenis kelaminnya karena bagaimanapun semua manusia sama derajatnya
dimata Allah, yang membedakannya adalah ketaqwaannya. Artinya orang yang paling
bertaqwa adalah orang yang paling mulia disisi Allah SWT.
Hubungan
dengan Allah menjadi dasar bagi hubungan sesama manusia. Hubungan antara
manusia ini dapat dibina dan dipelihara antara lain dengan mengembangkan cara
dan gaya hidupnya yang selaras dengan nilai dan norma agama, selain itu sikap
taqwa juga tercemin dalam bentuk kesediaan untuk menolong orang lain,
melindungi yang lemah dan keberpihakan pada kebenaran dan keadilan. Oleh karena
itu orang yang bertaqwa akan menjadi motor penggerak, gotong royong dan kerjasama
dalam segala bentuk kebaikan dan kebijakan. Surat Al-Baqarah ayat 177:
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat,
kitab, nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim,
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang
meminta-minta, dan (merdekakanlah) hamba sahaya, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat.Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji dan
orang yang bersabar dalam kesempatan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka
itulah orang yang benar (imannya) mereka itulah orang yang bertaqwa”. (Al-baqarah
2:177).
Dijelaskan
bahwa enam-ciri orang bertaqwa ialah orang yang beriman kepada Allah, hari
kemudian, malaikat dan kitab Allah. Aspek tersebut merupakan dasar keyakinan
yang dimiliki orang yang bertaqwa dan dasar hubungan dengan Allah. Selanjutnya
Allah menggambarkan hubungan kemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta dan
orang-orang menepati janji. Dalam ayat ini Allah menggambarkan dengan jelas dan
indah, bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap sesama manusia dijelaskan
secara terurai, yaitu siapa saja yang mesti diberi tenggang rasa, tetapi juga
mengeluarkan harta diposisikan antar aspek keimanan dan shalat.
E.
Hubungan
Manusia dan Lingkungan Hidup
Taqwa
dapat di tampilkan dalam bentuk hubungan seseorang dengan lingkungan hidupnya.
Manusia yang bertakwa adalah manusia yang memegang tugas kekhalifahannya di
tengah alam, sebagai subjek yang bertanggung jawab menggelola dan memelihara lingkungannya. Sebagai
penggelola, manusia akan memanfaatkan alam untuk kesejahteraan hidupnya didunia
tanpa harus merusak lingkungan disekitar mereka. Alam dan segala potensi yang
ada didalamnya telah diciptakan Allah untuk diolah dan dimanfaatkan menjadi
barang jadi yang berguna bagi manusia.
Alam
yang penuh dengan sumber daya ini mengharuskan manusia untuk bekerja keras
menggunakan tenaga dan pikirannya sehingga dapat menghasilkan barang yang
bermanfaat bagi manusia. Disamping itu, manusia bertindak pula sebagai penjaga
dan pemelihara lingkungan alam. Menjaga lingkungan adalah memberikan perhatian
dan kepedulian kepada lingkungan hidup dengan saling memberikan manfaat.
Manusia memanfaatkan lingkungan untuk kesejahteraan hidupnya tanpa harus
merusak dan merugikan lingkungan itu sendiri.
Orang
yang bertaqwa adalah orang yang mampu menjaga lingkungan dengan sebaik-baiknya.
Ia dapat mengelola lingkungan sehingga dapat bermanfaat dan juga memeliharanya
agar tidak habis atau musnah. Fenomena kerusakan lingkungan sekarang ini
menunjukan bahwa manusia jauh dari ketaqwaan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa
mempedulikan apa yang akan terjadi pada lingkungan itu sendiri dimasa depan
sehingga mala petaka membayangi kehidupan manusia. Contoh dari mala petaka itu
adalah hutan yang dibabat habis oleh
manusia mengakibatkan bencana banjir dan erosi tanah sehingga terjadi longsor
yang dapat merugikan manusia.
Bagi
orang yang bertaqwa, lingkungan alam adalah nikmat Allah yang harus disyukuri
dengan cara memanfaatkan dan memelihara lingkungan tersebut dengan
sebaik-baiknya. Disamping itu alam ini juga adalah amanat yang harus dipelihara
dan dirawat dengan baik. Mensyukuri nikmat Allahdengan cara ini akan menambah
kualitas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Sebaliknya orang yang
tidak bersyukur terhadap nikmat Allah akan diberi azab yang sangat menyedihkan.
Azab Allah dalam kaitan ini adalah bencana alam akibat eksploitasi alam yang
tanpa batas karena kerusakan manusia.
BAB
III
KESIMPULAN
Ketaatan
dan kepatuhan seorang hamba secara nyata diperlihatkan dalam bentuk ibadah
ritual atau ibadah mahdhah, Bentuk-bentuk ibadah langsung kepada Allah terdiri
dari gerakan-gerakan, ucapan-ucapan dan perilaku khusus. Perilaku-perilaku
ibadah tersebut ditetapkan secara standar sesuai dengan perintah Allah dan
cotoh rasulullah, Hal ini menunjukkan bukti ketaatan dan kepatuhan tanpa
reserve. Gerakan salat yang sesuai dengan perintah Allah menggambarkan ketaatan
kepada Allah, karena itu, dalam gerakan maupun bacaan shalat tidak boleh
berubah, bahkan dimengerti atau tidak, tidak menjadi menjadi syarat keabsahan
shalat sebab yang diperlukan di sini adalah ketaatan pada aturan

DAFTAR
PUSTAKA
Azra. Azumardi, Dr. Prof. Dkk, Pendidikan Agama Islam pada Perguruan
Tinggi Umum: Jakarta. 2002
Cholid, M, Drs. M, M.Ag, dkk. Pendidikan
Agama Islam untuk PerguruanTinggi,
Bandung: STPDN Press, 2003
Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum
Negeri, Penerbit. PT Ahsana Indah Kitab, Jakarta. 1994
Nata, Abudin, H, Drs, M.A, dkk.Ensiklopedii
Islam, Jakarta: PT. Ichtiar BaruVan
Hoevem 1996

